Minggu, 06 April 2014

Pancasila di Mata Dunia



Pancasila kembali menjadi buah bibir di Indonesia, bahkan menyita ruang dan waktu di multimemedia massa, setelah peringatan hari lahirnya pada 1 Juni 2011. Prof DR Sri Edi Swasono pun berpendapat bahwa sekarang orang ramai-ramai adu pamer perlunya menegakkan Pancasila.
Sri Edi Swasono mengutip kembali pendapat mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Presiden Soeharto, Daoed Joesoef, yang pada 2008 mengingatkan agar jangan menyesal kalau Pancasila diambil negara tetangga. Juga penegasan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan lainnya di era Presiden Soeharto, Prof DR Dipl Ing Wardiman Djojonegoro, tentang bermanfaatnya penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) bagi mahasiswa baru sebagai tuntunan dan pembentukan sikap dan tingkah laku sesuai nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Klimak dari peniadaan produk-produk warisan Orde Baru, termasuk juga tergusurnya Pancasila dan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) dengan berbagai pasang surut dan dinamika, kini sampai pada tahapan anti-klimaks di mana Pancasila sudah diwacanakan untuk bisa dijadikan mata pelajaran kembali yang mandiri dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT) untuk dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.  
Pancasila mampu menunjukan kesaktiannya mengalahkan paham dan nilai-nilai lain yang juga  hidup, tumbuh dan berkembang subur di bumi Indonesia sebagai dasar, landasan, tuntunan dan pegangan dalam semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Pancasila sebagai falsafah, nilai-nilai dan pandangan hidup merupakan suatu kekuatan ideologi bangsa yang setara dengan Nilai-nilai Asia, Nilai-nilai Konfusian. Nilai-nilai Islami dan juga Nilai-nilai Kristiani.
Di kota Rotterdam, Belanda, pada 20 Oktober 1990 Prof. Dr. Pyotr Hessling yang mengasuh mata kuliah Studi Internasional Organisasi dan Manajemen pada Fakultas Ekonomi Universitas Erasmus Rotterdam di hadapan para staf asistennya yang  sedang dibimbingnya menyelesaikan thesis Ph D,  tiga orang berasal dari Indonesia Soeksmono Besar Martokoesoemo, Petrus Suryadi Sutrisno dan Santo Koesoebjono serta Penelope (Penny)  Webb, asistennya Michael Porter, secara mengagumkan menjelaskan konsep “musyawarah” dan “mufakat” ala Indonesia sebagai dasar dalam pembangunan kelembagaan bagi suatu organisasi  dan manajemen.

Hessling, yang dikenal sebagai ahli Indonesia, mengatakan bahwa suatu konsep-konsep umum perlu dikemukakan secara jelas dalam penataan organisasi dan manajemen, misalnya dalam kasus seperti pengambilan keputusan manajemen di Indonesia. Organisasi bisa saja mengikuti konsep model yang disebut “Gotong Royong” (Mutual Aid), kemudian “musyawarah” dan “mufakat” (decision by consensus serta penghormatan kepada orang yang lebih tua atau dituakan.
Hessling masih menyebut dan menggarisbawahi bahwa “musyawarah” dan “mufakat” merupakan nilai-nilai yang menjadi sari dari dasar negara Indonesia yang disebut Pancasila.Ia juga membandingkan betapa nilai-nilai Pancasila sebagai konsep manajemen organisasi lebih efektif ketimbang konsep manajemen pengambilan keputusan melalui voting.
Catatan tentang bagaimana piawainya Hessling mengidentifikasi nilai-nilai Pancasila yang disebut “musyawarah” dan “mufakat” sebagai salah satu konsep umum yang menjadi landasan pengambilan keputusan dalam organisasi-manajemen merupakan bukti bahwa Pancasila sebenarnya sudah “go international” sebelum tahun 2000 atau sebelum Reformasi lahir di Indonesia. Pancasila diakui oleh ilmuwan Barat sebagai suatu nilai-nilai dan konsep yang mampu memberikan kontribusi bagi proses inovasi dan perubahan lingkungan.
Di saat resepsi pernikahan Marina Mahathir, puteri mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Datuk Seri DR Mahathir Mohammad, pada Juni 1986, satu dari tiga pendukung utama kepemimpinan Mahathir Mohammad yang hadir di resepsi sempat mendiskusikan pentingnya rakyat Malaysia belajar nilai-nilai (asas) kenegaraan kebangsaan, seperti Pancasila, meskipun Malaysia juga memiliki Rukun Negara yang juga berisi lima dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat itu salah seorang pendukung Mahathir mengatakan, betapa pentingnya nilai-nilai pemersatu, nilai-nilai kebersamaan dan kesadaran menciptakan suasana kehidupan sosial yang selaras, serasi dan toleran.  
Ia mendengar bahwa dalam sosialisasi dan penataran P-4 kasus-kasus dan aktualisasi implementasi nilai-nilai semacam itu menjadi pembahasan dan perdebatan untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Karena itu, katanya, mengapa tidak orang Malaysia belajar dari Indonesia tentang nilai-nilai sosial budaya yang baik. Ia berharap bahwa kelak ada warga Malaysia yang berhasil ikut Program P-4 di BP 7. Ternyata, di tahun 1987 seorang warganegara Malaysia berhasil lulus mengikuti program P-4 di BP-7.
Beberapa mahasiswa yang mempelajari ilmu politik di Universiti Kebangsaan Malaysia menjelang era 1990an mengatakan bahwa teman-teman di Indonesia memiliki faktor pengikat atau pemersatu yang kokoh dibandingkan Malaysia, faktor pengikat itu adalah nilai-nilai Pancasila.
Gambaran Pancasila diapresiasi oleh bukan warganegara Indonesia di luar negeri merupakan suatu hal yang patut diperhatikan oleh semua warga negara Indonesia sebagai pemilik nilai-nilai Pancasila. Apakah orang Belanda dan orang Malaysia yang mengapresiasi nilai-nilai  Pancasila harus kita cegah dan halangi karena alasan mereka bukan warga negara Indonesia pemilik yang sah dari nilai-nilai Pancasila ?
Sementara itu, kita warga negara RI sebagai pemilik sah Pancasila justru mengabaikan dan melupakan peran sentral Pancasila sebagai dasar dan falsafah. BP 7 sebagai badan yang menyelenggarakan sosialisasi, pendidikan dan pengamalan Pancasila justru dihilangkan peran, fungsi dan eksistensinya pada awal Orde Reformasi.
Mestinya sebagai warga negara Indonesia kita harus malu terhadap orang Belanda dan orang Malaysia, karena kita telah mengabaikan Pancasila sebagai nilai-nilai dan kekayaan ideologi asli nasional Indonesia, apalagi membiarkan dan  tidak  menyesal manakala Pancasila diambil negara lain.
Karena itu, salah satu upaya untuk menegakan kembali Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah serta pedoman hidup rakyat Indonesia sehari-hari nampaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan, antara lain perlu konsensus nasional untuk mereaktualisasi Pancasila dalam kehidupan nyata sehari-hari, BP-7 harus dihidupkan kembali dengan tambahan tugas pokok mengaktualisasi Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila/P-4 secara kongkrit dan terprogram, menjadikan Pancasila sebagai bahan pelajaran sekolah dari mulai SD sampai PT.
Bukan tidak mustahil jika 50 tahun ke masa depan, para mahasiswa atau ilmuwan asing yang ingin mempelajari nilai-nilai luhur Pancasila sebagai ideologi khas Indonesia akan mengalami kesulitan untuk memperoleh data dan dokumentasi yang berkaitan dengan Pancasila. Tidak bisa kita bayangkan kalau untuk mempeorleh data dan dokumentasi tentang Pancasila yang khas Indonesia kita harus mencarinya di negeri Belanda atau di negara tetangga Malaysia atau Singapura. Karena itu jugalah mungkin Daoed Joesoef mengingatkan agar kita jangan menyesal jika Pancasila di ambil negara tetangga.
Tentunya kita berharap apa yang dikatakan Daoed Joesoef itu tidak pernah terjadi. Karena apresiasi orang Belanda dan orang Malaysia terhadap nilai-nilai Pancasila merupakan bukti nyata bahwa Pancasila juga bukan hanya milik orang Indonesia tetapi juga milik orang warga negara lain. Maknanya adalah Pancasila sebenarnya memiliki nilai-nilai universalitas yang hakiki dan dapat diterima secara internasional.
Presiden AS Barrack Obama saja ketika didaulat bicara di kampus Universitas Indonesia Depok juga menyebut Pancasila secara positif. Hal itu sekali lagi ikut membuktikan bahwa nilai-nilai Pancasila memiliki sisi yang universal bukan hanya nilai-nilai lokal yang diakui makna dan eksistensinya dalam kehidupan masyarakat Indonesia tapi juga di luar bumi Indonesia.
Sumber : http://www.antaranews.com

0 komentar:

Posting Komentar