Pancasila kembali menjadi buah bibir di
Indonesia, bahkan menyita ruang dan waktu di multimemedia massa, setelah
peringatan hari lahirnya pada 1 Juni 2011. Prof DR Sri Edi Swasono pun
berpendapat bahwa sekarang orang ramai-ramai adu pamer perlunya menegakkan
Pancasila.
Sri Edi Swasono mengutip kembali
pendapat mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Presiden Soeharto, Daoed
Joesoef, yang pada 2008 mengingatkan agar jangan menyesal kalau Pancasila
diambil negara tetangga. Juga penegasan mantan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan lainnya di era Presiden Soeharto, Prof DR Dipl Ing Wardiman
Djojonegoro, tentang bermanfaatnya penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4) bagi mahasiswa baru sebagai tuntunan dan pembentukan sikap dan
tingkah laku sesuai nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Klimak dari peniadaan produk-produk
warisan Orde Baru, termasuk juga tergusurnya Pancasila dan Badan Pembinaan
Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7)
dengan berbagai pasang surut dan dinamika, kini sampai pada tahapan
anti-klimaks di mana Pancasila sudah diwacanakan untuk bisa dijadikan mata
pelajaran kembali yang mandiri dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan
Tinggi (PT) untuk dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila mampu menunjukan kesaktiannya
mengalahkan paham dan nilai-nilai lain yang juga hidup, tumbuh dan
berkembang subur di bumi Indonesia sebagai dasar, landasan, tuntunan dan
pegangan dalam semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Pancasila sebagai falsafah, nilai-nilai dan pandangan hidup merupakan suatu
kekuatan ideologi bangsa yang setara dengan Nilai-nilai Asia, Nilai-nilai
Konfusian. Nilai-nilai Islami dan juga Nilai-nilai Kristiani.
Di kota Rotterdam, Belanda, pada 20
Oktober 1990 Prof. Dr. Pyotr Hessling yang mengasuh mata kuliah Studi
Internasional Organisasi dan Manajemen pada Fakultas Ekonomi Universitas
Erasmus Rotterdam di hadapan para staf asistennya yang sedang
dibimbingnya menyelesaikan thesis Ph D, tiga orang berasal dari Indonesia
Soeksmono Besar Martokoesoemo, Petrus Suryadi Sutrisno dan Santo Koesoebjono
serta Penelope (Penny) Webb, asistennya Michael Porter, secara
mengagumkan menjelaskan konsep “musyawarah” dan “mufakat” ala Indonesia sebagai
dasar dalam pembangunan kelembagaan bagi suatu organisasi dan manajemen.
Hessling, yang dikenal sebagai ahli Indonesia, mengatakan bahwa suatu konsep-konsep umum perlu dikemukakan secara jelas dalam penataan organisasi dan manajemen, misalnya dalam kasus seperti pengambilan keputusan manajemen di Indonesia. Organisasi bisa saja mengikuti konsep model yang disebut “Gotong Royong” (Mutual Aid), kemudian “musyawarah” dan “mufakat” (decision by consensus serta penghormatan kepada orang yang lebih tua atau dituakan.
Hessling, yang dikenal sebagai ahli Indonesia, mengatakan bahwa suatu konsep-konsep umum perlu dikemukakan secara jelas dalam penataan organisasi dan manajemen, misalnya dalam kasus seperti pengambilan keputusan manajemen di Indonesia. Organisasi bisa saja mengikuti konsep model yang disebut “Gotong Royong” (Mutual Aid), kemudian “musyawarah” dan “mufakat” (decision by consensus serta penghormatan kepada orang yang lebih tua atau dituakan.
Hessling masih menyebut dan
menggarisbawahi bahwa “musyawarah” dan “mufakat” merupakan nilai-nilai yang
menjadi sari dari dasar negara Indonesia yang disebut Pancasila.Ia juga
membandingkan betapa nilai-nilai Pancasila sebagai konsep manajemen organisasi
lebih efektif ketimbang konsep manajemen pengambilan keputusan melalui voting.
Catatan tentang bagaimana piawainya
Hessling mengidentifikasi nilai-nilai Pancasila yang disebut “musyawarah” dan
“mufakat” sebagai salah satu konsep umum yang menjadi landasan pengambilan
keputusan dalam organisasi-manajemen merupakan bukti bahwa Pancasila sebenarnya
sudah “go international” sebelum tahun 2000 atau sebelum Reformasi lahir di
Indonesia. Pancasila diakui oleh ilmuwan Barat sebagai suatu nilai-nilai dan
konsep yang mampu memberikan kontribusi bagi proses inovasi dan perubahan
lingkungan.
Di saat resepsi pernikahan Marina
Mahathir, puteri mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Datuk Seri DR Mahathir
Mohammad, pada Juni 1986, satu dari tiga pendukung utama kepemimpinan Mahathir
Mohammad yang hadir di resepsi sempat mendiskusikan pentingnya rakyat Malaysia
belajar nilai-nilai (asas) kenegaraan kebangsaan, seperti Pancasila, meskipun
Malaysia juga memiliki Rukun Negara yang juga berisi lima dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara. Saat itu salah seorang pendukung Mahathir mengatakan,
betapa pentingnya nilai-nilai pemersatu, nilai-nilai kebersamaan dan kesadaran
menciptakan suasana kehidupan sosial yang selaras, serasi dan toleran.
Ia mendengar bahwa dalam sosialisasi dan
penataran P-4 kasus-kasus dan aktualisasi implementasi nilai-nilai semacam itu
menjadi pembahasan dan perdebatan untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari
di Indonesia. Karena itu, katanya, mengapa tidak orang Malaysia belajar dari
Indonesia tentang nilai-nilai sosial budaya yang baik. Ia berharap bahwa kelak
ada warga Malaysia yang berhasil ikut Program P-4 di BP 7. Ternyata, di tahun
1987 seorang warganegara Malaysia berhasil lulus mengikuti program P-4 di BP-7.
Beberapa mahasiswa yang mempelajari ilmu
politik di Universiti Kebangsaan Malaysia menjelang era 1990an mengatakan bahwa
teman-teman di Indonesia memiliki faktor pengikat atau pemersatu yang kokoh
dibandingkan Malaysia, faktor pengikat itu adalah nilai-nilai Pancasila.
Gambaran Pancasila diapresiasi oleh
bukan warganegara Indonesia di luar negeri merupakan suatu hal yang patut
diperhatikan oleh semua warga negara Indonesia sebagai pemilik nilai-nilai
Pancasila. Apakah orang Belanda dan orang Malaysia yang mengapresiasi
nilai-nilai Pancasila harus kita cegah dan halangi karena alasan mereka
bukan warga negara Indonesia pemilik yang sah dari nilai-nilai Pancasila ?
Sementara itu, kita warga negara RI
sebagai pemilik sah Pancasila justru mengabaikan dan melupakan peran sentral
Pancasila sebagai dasar dan falsafah. BP 7 sebagai badan yang menyelenggarakan
sosialisasi, pendidikan dan pengamalan Pancasila justru dihilangkan peran,
fungsi dan eksistensinya pada awal Orde Reformasi.
Mestinya sebagai warga negara Indonesia
kita harus malu terhadap orang Belanda dan orang Malaysia, karena kita telah
mengabaikan Pancasila sebagai nilai-nilai dan kekayaan ideologi asli nasional
Indonesia, apalagi membiarkan dan tidak menyesal manakala Pancasila
diambil negara lain.
Karena itu, salah satu upaya untuk
menegakan kembali Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah serta pedoman
hidup rakyat Indonesia sehari-hari nampaknya ada beberapa hal yang perlu
dilakukan, antara lain perlu konsensus nasional untuk mereaktualisasi Pancasila
dalam kehidupan nyata sehari-hari, BP-7 harus dihidupkan kembali dengan
tambahan tugas pokok mengaktualisasi Pedoman Penghayatan Pengamalan
Pancasila/P-4 secara kongkrit dan terprogram, menjadikan Pancasila sebagai
bahan pelajaran sekolah dari mulai SD sampai PT.
Bukan tidak mustahil jika 50 tahun ke
masa depan, para mahasiswa atau ilmuwan asing yang ingin mempelajari
nilai-nilai luhur Pancasila sebagai ideologi khas Indonesia akan mengalami
kesulitan untuk memperoleh data dan dokumentasi yang berkaitan dengan
Pancasila. Tidak bisa kita bayangkan kalau untuk mempeorleh data dan
dokumentasi tentang Pancasila yang khas Indonesia kita harus mencarinya di
negeri Belanda atau di negara tetangga Malaysia atau Singapura. Karena itu
jugalah mungkin Daoed Joesoef mengingatkan agar kita jangan menyesal jika Pancasila
di ambil negara tetangga.
Tentunya kita berharap apa yang
dikatakan Daoed Joesoef itu tidak pernah terjadi. Karena apresiasi orang
Belanda dan orang Malaysia terhadap nilai-nilai Pancasila merupakan bukti nyata
bahwa Pancasila juga bukan hanya milik orang Indonesia tetapi juga milik orang
warga negara lain. Maknanya adalah Pancasila sebenarnya memiliki nilai-nilai
universalitas yang hakiki dan dapat diterima secara internasional.
Presiden AS Barrack Obama saja ketika
didaulat bicara di kampus Universitas Indonesia Depok juga menyebut Pancasila
secara positif. Hal itu sekali lagi ikut membuktikan bahwa nilai-nilai
Pancasila memiliki sisi yang universal bukan hanya nilai-nilai lokal yang
diakui makna dan eksistensinya dalam kehidupan masyarakat Indonesia tapi juga
di luar bumi Indonesia.
Sumber
: http://www.antaranews.com